Julukan Dari Sultan Aceh Pertama

Julukan Dari Sultan Aceh Pertama

Profil Sultan Hasanuddin

Nama Sultan Hasanuddin Diabadikan

Berkat kegigihan Sultan Hasanuddin mempertahankan kehormatan negerinya, dia diberi gelar Pahlawan Nasional. Dia angkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 November 1973 No. 887/TK/Tahun 1973.

Untuk menghargai dan mengenang keberaniannya, nama Sultan Hasanuddin diabadikan sebagai nama-nama fasitas umum hingga universitas di Sulawesi Selatan. Diantaranya Universitas Hasanuddin, Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Kodam XIV/Hasanuddin, KRI Sultan Hasanuddin, dan nama jalan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

SEJUMLAH orang bersila di bawah tenda kecil dalam komplek Gedung Perjuangan, Banda Aceh. Mereka antusias mendengarkan testimoni sejarah yang dipaparkan sejarawan tentang Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884-1903).

Sebuah tenda terpampang lengkap dengan foto sang sultan di belakang pembicara, bertulis “Peringatan haul, mengenang 77 tahun Sultan Alaidin Muhammad Dawood Syah, sultan terakhir penjaga kedaulatan KerajaanAceh”.

Beginilah suasana mengenang 77 tahun mangkatnya sultan Aceh terakhir digelar komunitas pegiat budaya dan sejarah Aceh, pada Sabtu akhir pekan lalu. Ikut dalam acara ini sejarawan, seniman, pemerhati adat, budaya, jurnalis dan beberapa cucu serta cicit keturunan sultan Aceh.

Koordinator acara, Djamal Sjarief mengatakan, kegiatan ini untuk mengenalkan kembali sosok sultan Aceh kepada masyarakat terutama generasi muda, serta membangkitkan identitas ke-Aceh-an.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, kata dia, berjasa besar dalam mempertahankan kedaulatan Aceh. Pemimpin ke-35 Kerajaan Aceh Darussalam ini tak pernah melepaskan kekuasaannya kepada Belanda, sekalipun dia dan keluarganya ditawan dan dibuang keluar Aceh.

“Makanya kita mengajak generasi muda mengenal sosok beliau, dan kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal.

Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda adalah Aceh.

Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda tahun 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh. “Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” katanya.

Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah mangkat dalam tawanan Belanda, pada 6 Februari 1939 di Batavia (Jakarta), dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta. Dia merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin, atau cucu Sultan Alaidin Mansursyah (1857-1870), pemimpin ke-33 Kerajaan Aceh Darussalam.

Sejarawan Aceh, Ramli A Dally mengatakan, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan, karena saat kepemimpinannya Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.

“65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikitpun negerinya kepada musuh,” kata Ramli.

Menurutnya, satu per satu kerajaan di nusantara takluk ke Belanda, tapi Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak maklumat perang Belanda terhadap Aceh dikeluarkan pada 1873. “VoC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di nusantara selama 200 tahun,” sebutnya.

Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai, sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Puncak kejayaannya berada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Wilayah kekuasaannya dari Sumatera hingga daratan Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Menurut riwayat, Muhammad Daud Syah diangkat menjadi Sultan Aceh ke-35, pada usia 7 tahun. Ia menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.

Saat itu Aceh sedang bergejolak, menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil menguasai Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh di Banda Aceh. Karena istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.

Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda.

Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dikendali dewan kesultanan.

Kabinet teras kerajaan saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb), Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri) dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian Timur.

Setelah benteng Montasik (Aceh Besar) dikuasai Belanda tahun 1878, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh kemudian dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie. Ibu kota kerajaan 20 tahun bertahan di sana. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda, mulai mengatur pemerintahan di sana.

Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Belanda menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkotanya, Tuanku Raja Ibarahim kemudian menawannya. Tak-tik ini dilakukan Belanda untuk memaksa sultan menyerah.

Van Der Maaten, pemimpin pasukan Belanda, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, Januari 1903. Sultan menuruti. Celakanya, sultan yang datang dengan beberapa pengawal langsung ditahan. Sultan dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada Belanda, tapi ia menolaknya.

“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.

Sultan dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh), ditawan di sebuah rumah kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan, sultan mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh. Dia juga mengirim surat kepada meminta bantuan Kaisar Jepang, mengusir Belanda dari Aceh. Surat dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.

Aksi sultan akhirnya tercium Belanda. Dia pun diasingkan ke Ambon, Maluku. Namun di Ambon dia malah dianggap sebagai tamu kehormatan dari Aceh, dan ikut mendakwahkan Islam di sana. Beberapa keluarga Raja Samu-Samu malah berhasil diajak masuk Islam.

Belanda yang kesal akhirnya mengasingkan lagi Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah ke Batavia, dan ditawan di sebuah rumah di sana. Dia ngotot, tak mau menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Kerajaan Belanda hingga menghembuskan nafas terakhir dalam tawanan.

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar merupakan Sultan Aceh pertama yang melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Semenanjung Melayu. Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537—1568 M. Dirinya berkuasa setelah Sultan Ali Mughayat Syah (1514—1528 M) dan Sultan Salahuddin (1528—1537 M). Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar disebut sebagai salah satu penguasa terkuat dalam sejarah Kesultanan Aceh. Pada masanya, kekuasaan yang dimulai oleh ayahnya berhasil diperkuat. Selain itu, Sultan Aceh yang berhasil menjalin hubungan diplomatic dengan Khilafah Turki Utsmani adalah Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar.

Pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Aceh Pertama), Kesultanan Aceh mulai melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sepeninggalnya, tahta jatuh ke anak tertuanya, Sultan Salahuddin, di mana perlawanan Aceh terhadap Portugis mulai berkurang, bahkan hampir kalah. Menyadari situasi tersebut, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar menggantikan posisi kakaknya dan memproklamirkan diri sebagai Sultan Aceh selanjutnya. Setelah resmi menjabat sebagai Sultan Aceh, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar langsung mengerahkan armada perangnya untuk melawan Portugis di Malaka.

Hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani

Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam mengirim surat kepada Turki Utsmani yang dipimpin Sultan Sulaiman al-Qanuni. Di dalam suratnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah menyampaikan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam tidak memiliki perlindungan atau tempat mengadu selain kepada Kekhalifahan Turki Utsmani. Aceh Darussalam percaya seandainya Khalifah mengetahui mereka sedang berperang atas nama Allah melawan penjajahan, mungkin saja Khalifah akan membantu. Sebab menolong Islam adalah tanggungjawab Khalifah yang baik. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dalam suratnya juga menyampaikan, mengharapkan bantuan tentara, senjata dan ahli-ahli yang memiliki pengalaman perang dari Khilafah Turki Utsmani. Aceh Darussalam juga meminta bantuan agar Khalifah mengirim kuda-kuda terlatih dan para ahli untuk membangun benteng, membuat meriam dan kapal perang.

Namun, bantuan untuk Aceh Darussalam baru bisa dikirim oleh Sultan Selim II anak dari Sultan Sulaiman al-Qanuni. Karena saat surat permohonan bantuan dari Sultan Aceh Darussalam tiba di Khilafah Utsmani, Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang berperang bersama pasukannya di Hongaria. Saat di Hongaria, Sultan Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia karena sakit. Pada tahun 1566 M, Sultan Selim II menggantikan kedudukannya. Selanjutnya Sultan Selim II membalas surat Sultan Alauddin Ri’ayat Syah.

Di dalam suratnya, dia menyampaikan Khilafah Utsmani menyiapkan 15 kapal perang kecil dan dua kapal perang besar. Selain itu, Khilafah Utsmani juga menyiapkan peluru meriam, peluru meriam kecil, bubuk mesiu, 300 kapak dan 300 sekop. Di dalam kapal ada kapten kapal, ahli senjata, prajurit, awak kapal, peralatan perang, senjata dan amunisi yang lengkap.

Gaji setahun untuk tentara sudah dibayar dan perbekalan gandum untuk setahun diangkut keatas kapal agar tidak kekurangan makanan selama perjalanan. Pimpinan utusan dari Turki Utsmani ini diserahkan ke Kurdoglu Hizir yang telah ditunjuk sebagai kapten dan Seraskier panglima perang pasukan militer yang dikirim ke Aceh Darussalam pada tahun 1568-1569 M. Bantuan tersebut menjadi bukti bahwa Kesultanan Aceh dan Khilafah Turki Utsmani memiliki sebuah hubungan yang begitu erat. Bukti lain yang menguatkan hubungan antara Kesultanan Aceh dan Khilafah di Turki adalah ditemukannya ratusan koin emas di Desa Gampong Pande, Aceh. Koin-koin tersebut bertuliskan nama Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar berdampingan dengan Sultan Sulaiman I (KhalifahTurki Utsmani).

Asal Usul Julukan Ayam Jantan dari Timur

Sultan Hasanuddin dikenal sebagai sosok yang tegas, berani, dan pantang menyerah. Karena karakter inilah Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan de Haav van de Osten yang berarti Ayam Jantan dari Timur. Julukan ini diberikan oleh pihak Belanda.

Perjuangan Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin memimpin Kerajaan Gowa pada saat ayahnya Sultan Malikussaid Raja Gowa ke-15 wafat. Kerajaan Gowa terletak di ujung selatan Pulau Sulawesi.

Di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa mengalami masa kejayaan. Akan tetapi, para pembesar VOC di Jakarta merasa kepemimpinan Sultan Hasanuddin tidak seperti harapannya.

Jauh sebelum Sultan Hasanuddin menduduki tahta, Kerajaan Gowa dan VOC sering terjadi ketegangan yang disertai pertempuran. Kerajaan Gowa menentang keras hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC.

Dilansir dari elibrary.unikom, di masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin, dia tidak hanya melawan bangsa luar saja akan tetapi juga berperang melawan sesama bangsa sendiri. VOC berhasil menerapkan politik adu domba untuk memecahkan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone, sehingga Kerajaan Bone memihak ke VOC.

Arung Palakka yang merupakan keturunan Kerajaan Bone melakukan perlawanan ke Kerajaan Gowa. Arung Palakka bersama orang-orang Bugis dari Bone melakukan pemberontakan kepada Gowa, kemudian dia bersama pengikutnya melarikan diri sembari meminta bantuan kepada VOC Belanda.

Kerajaan Gowa pun kembali diserang oleh VOC Belanda beserta sekutunya secara bertubi-tubi, hingga akhirnya Kesultanan Gowa terdesak dan semakin melemah. Arung Palakka dan VOC mengajukan usul cease fire kepada Sultan Hasanuddin.

Akibat peperangan yang berlarut-larut banyak korban dari pihak Gowa yang gugur, hal ini membuat Sultan Hasanuddin terpaksa menerima usulan tersebut. Maka pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin pun menandatangani perjanjian tersebut, demi nasib rakyat Kerajaan Gowa yang semakin menyedihkan.

Melanjutkan peperangan dalam kondisi yang melemah maka dapat mendatangkan kehancuran yang lebih besar bagi rakyat Gowa. Atas hal tersebut Sultan Hasanudin merasa lebih bijaksana untuk mengadakan perdamaian dengan Belanda, perdamaian ini dinamakan 'Perjanjian Bongaya'.

Akan tetapi ini bukan akhir perjuangan Sultan Hasanuddin, meski telah menandatangani perjanjian perdamaian tersebut, Karaeng Karunrung yang sangat membenci VOC terus mendesak Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dengan Belanda.

Pada 12 April 1668 peperangan kembali pecah, Sultan Hasanuddin memimpin Gowa dan Speelman memimpin pasukan VOC. Pertempuran ini jauh lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya.

Sultan Hasanuddin menggunakan peluru beracun, sehingga pasukan VOC mengalami luka-luka. Speelman yang dianggap gagah berani merasa cemas dan jengkel, dia kemudian meminta kepada pimpinan VOC di Batavia untuk mengirimkan bantuan yang cukup untuk melawan Kerajaan Gowa.

Setelah mendapatkan bantuan, Speelman bersama pasukan merasa lebih kuat. Belanda pun melakukan serangan secara bertubi-tubi hingga benteng utama Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda.

Meski ditaklukan, Benteng Somba Opu jatuh dengan terhormat setelah pejuang-pejuang Gowa di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan yang begitu gigih.

Alasan Melakukan Perlawan

Mengutip dari laman Kemdikbud Ristek, pada saat kepemimpinan Sultan Hasanuddin Kerajaan Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur. VOC berusaha melakukan monopoli perdagangan atas Kerajaan Gowa.

VOC kerap melarang orang Makassar berlayar dan berdagang rempah-rempah. Hal ini menimbulkan gangguan kebebasan perdagangan terhadap rakyat Gowa.

Terkait hal ini, Sultan Hasanuddin melakukan perlawanan karena dia menentang keras mengenai hak monopoli yang hendak dijalankan oleh VOC. Belanda ingin memonopoli perdagangan di wilayah Makassar dengan cara yang licik dan membuat masyarakat sengsara.

Kerajaan Gowa memiliki pendirian bahwa, Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum, tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain.

Dalam artian tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk digunakan secara bersama oleh seluruh umat manusia, bukan hanya untuk VOC. Itulah sebabnya mengapa Kerajaan Gowa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Sultan Hasanuddin merupakan salah satu pahlawan nasional asal Sulawesi Selatan. Ia merupakan Raja Gowa yang ke-16.

Dikutip dari laman Universitas Sains dan Teknologi Komputer (STEKOM) dijelaskan bahwa, Sultan Hasanuddin terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Nama Sultan Hasanuddin sendiri di berikan pada saat dia menduduki tahta kerajaan Gowa.

Selain itu, ia juga dijuluki sebagai Ayam Jantan dari Timur. Julukan ini menggambarkan kegigihan dan keberaniannya dalam melawan Belanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, pada tanggal 12 Januari 1631. Dia merupakan putra dari Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid dan cucu dari Sultan Alauddin yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam.

Dilansir dari dalam laman Kemdikbud Ristek, Sultan Hasanuddin menjabat sebagai Raja Gowa di saat berusia 24 tahun (1655). Di Bawah kepemimpinannya Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan. Bahkan saat itu Gowa dikenal sebagai negara maritim dan menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur.

Selain itu, Kerajaan Gowa juga menjadi kekuatan politik yang unggul di Sulawesi Selatan. Tidak ada satupun kekuatan politik lokal yang mudah melakukannya.

Setelah 14 tahun Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa, tahta kerajaan ia serahkan kepada putranya, Amir Hamzah. Sultan Hasanuddin wafat di usia 39 tahun karena menderita penyakit ari-ari.

return CMS_Setting('judul')

return CMS_Setting('tagline')